Penulis : Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: بَايَعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى
الله عليه وسلم عَلَى إِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ،
وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau radhiyallahu ‘anhu
berkata: “Aku telah mengucapkan ba’iat kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan
bersikap nush (berniat baik) bagi setiap muslim.”
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu meriwayatkan hadits ini melalui
jalan Musaddad, dari Yahya, dari Ismail, dari Qais bin Abi Hazim, dari
Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu.
Nama lengkap Musaddad adalah Musaddad bin Musarhad bin Musarbal bin
Mustaurad Al-Asadi Abul Hasan Al-Bashri. Musaddad sendiri adalah sebuah
gelar, adapun nama beliau adalah Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz.
Yahya adalah Yahya bin Sa’id Al-Qaththan.
Ismail adalah Ismail bin Abi Khalid.
Dalam riwayat Al-Bukhari yang lain ada penambahan lafadz yaitu, “Aku
telah mengucapkan bai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk bersyahadat Laa Ilaaha Illallah wa Anna Muhammadan Rasulullah,
menegakkan shalat, menunaikan zakat, mendengar dan taat, serta bersikap
nush bagi setiap muslim.”
Jarir berasal dari daerah yang bernama Bajal. Demikian juga Qais bin
Abi Hazim dan Ismail bin Abi Khalid. Ketiganya berkunyah Abu ‘Abdillah.
Adapun Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan hadits ini dari Abu
Bakr bin Abi Syaibah, dari Abdullah bin Numair dan Abu Usamah, dari
Ismail bin Abi Khalid, dari Qais, dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhu. An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan bahwa sanad hadits ini
seluruhnya dari perawi Kufi (berasal dari Kufah).
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu meriwayatkan hadits ini dari
Muhammad bin Basyar, dari Yahya bin Sa’id, dari Ismail, dari Qais, dari
Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu.
Para peneguh janji
Sebagai bentuk kesempurnaan seorang muslim, kita harus mengenal
sejarah kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mempelajari
kehidupan beliau sebelum diangkat menjadi nabi dan sesudahnya.
Mempelajari ciri-ciri khalqiyyah (fisik) sekaligus khuluqiyyah (akhlak)
beliau. Membaca dan memahami petunjuk hidup yang beliau wariskan dengan
keyakinan kuat bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk hidup
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk kemudian diamalkan
tentunya. Karena sejarah hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
penuh dengan hikmah, ibrah, serta pelajaran-pelajaran penting bagi hamba
yang hendak meraih kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat.
Di antara peristiwa penting yang terjadi di dalam sejarah kehidupan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pengucapan bai’at, yakni
janji setia yang diucapkan oleh sahabat, sebagai manusia-manusia
pilihan di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk
melaksanakan sesuatu atau meninggalkan satu hal. Janji-janji kebaikan
yang diucapkan oleh generasi terbaik di hadapan manusia terbaik di
dunia. Janji-janji itu tidak hanya berlaku dan diamalkan oleh para
sahabat saja. Tetapi janji-janji itu pun harus diamalkan oleh setiap
muslim yang ingin mengikuti jejak generasi terbaik umat ini.
Sejarah telah mencatat sekian banyak janji setia setiap muslim dengan
para sahabat sebagai barisan yang terdepan. Al-Imam Al-Bukhari
rahimahullahu meriwayatkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma tentang
bai’at untuk selalu bersikap sabar. Al-Bukhari juga meriwayatkan hadits
Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha tentang janji setia setiap muslim
untuk tidak mempersekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak meratapi
kematian seseorang. Al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah meriwayatkan
hadits Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu tentang janji setia
setiap muslim untuk senantiasa bersikap taat dan mendengar terhadap
penguasa dalam keadaan apapun. Ada juga hadits Ubadah bin Ash-Shamit
radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan:
باَيَعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي رَهْطٍ فَقَالَ:
أُبَايِعُكُمْ عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقُوا
وَلَا تَزْنُوا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ وَلَا تَأْتُوا
بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ وَلَا
تَعْصُونِي فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ
وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَأُخِذَ بِهِ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ
لَهُ كَفَّارَةٌ وَطُهُورٌ وَمَنْ سَتَرَهُ اللهُ فَذَلِكَ إِلَى اللهِ
إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ
Aku mengucapkan bai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersama beberapa sahabat yang lain.
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku membai’at kalian untuk tidak
mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak akan
mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak
akan berbuat dusta yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian
serta tidak akan mendurhakai diriku dalam urusan yang baik. Maka
barangsiapa memenuhi janji-janji ini niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala
akan memberi pahala untuknya. Dan barangsiapa yang melanggar janji-janji
ini kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukumnya di dunia maka
hukuman itu adalah kaffarah dan pembersih dirinya. Barangsiapa yang
pelanggarannya ditutupi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala maka urusannya
kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, jika Allah Subhanahu wa Ta’ala
menghendaki ia akan diazab dan jika Allah Subhanahu wa Ta’ala
menghendaki ia akan diampuni.”
Seluruh bai’at yang telah diucapkan sahabat di hadapan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya berlaku bagi mereka saja.
Bai’at-bai’at tersebut sekaligus warisan yang harus diteguhkan dan
diwujudkan oleh setiap muslim yang hidup setelah mereka sebagai janji
setia. Janji setia yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, karena janji setia kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah bentuk janji setia kita kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ
فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ
وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا
عَظِيمًا
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya
mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka,
maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar
janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya
kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
(Al-Fath:10)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu berkata di
dalam Syarah Riyadhus Shalihin, “Apabila seorang sahabat mengucapkan
bai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan
sesuatu maka hal itu tidak hanya berlaku khusus terhadap sahabat
tersebut. Bentuk bai’at itu berlaku secara umum untuk seluruh kaum
muslimin. Maka seluruh kaum muslimin memiliki beban bai’at kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersikap nush kepada
sesama muslim, termasuk juga untuk menegakkan shalat dan menunaikan
zakat.”
Makna hadits
Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan bahwa tiga
hal yang disebutkan di dalam hadits ini sesungguhnya menunjukkan bahwa
kewajiban setiap muslim terbagi menjadi tiga macam. Terkait dengan hak
Allah Subhanahu wa Ta’ala murni, hak manusia murni, dan hak Allah
Subhanahu wa Ta’ala sekaligus hak manusia.
Adapun hak Allah Subhanahu wa Ta’ala murni adalah penegakan shalat.
Yang dimaksud dengan penegakan shalat adalah melaksanakan shalat sesuai
dengan tuntunan syariat dengan memerhatikan waktu pelaksanaannya,
rukun-rukun, syarat-syarat, dan kewajiban-kewajiban shalat. Lalu
berusaha untuk menyempurnakannya dengan hal-hal yang mustahab (sunnah).
Bagi laki-laki, sebagai bentuk penegakan shalat adalah melaksanakannya
secara berjamaah di masjid.
Barangsiapa meninggalkan jamaah tanpa udzur
maka ia telah berdosa. Bahkan sebagian ulama seperti Syaikhul Islam
rahimahullahu berpendapat bahwa shalat orang yang meninggalkan jamaah
tanpa udzur maka shalatnya batil, tidak sah dan tidak diterima. Akan
tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa shalatnya tetap sah dan ia
berdosa. Pendapat inilah yang pendapat yang benar. Sehingga yang
meninggalkan jamaah tanpa udzur maka shalatnya tetap sah namun ia
mendapatkan dosa. (Syarah Riyaadhus Shalihin)
Ibadah shalat adalah bentuk kedekatan seorang hamba dengan Sang
Pencipta. Dengan shalat ia akan bermunajat di hadapan-Nya, berkeluh
kesah, meminta dan berharap. Alangkah indahnya hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي
نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ؛ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِين؛ قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي
عَبْدِي؛
وَإِذَا قَالَ: الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ؛ قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى
عَلَيَّ عَبْدِي؛ وَإِذَا قَالَ: مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ؛ قَالَ:
مَجَّدَنِي عَبْدِي -وَقَالَ مَرَّةً: فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي- فَإِذَا
قَالَ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ؛ قَالَ: هَذَا بَيْنِي
وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ. فَإِذَا قَالَ: اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ؛ قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي
وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
Allah berfirman: “Aku membagi shalat (surat Al-Fatihah) menjadi dua
bagian, untuk Aku dan untuk hamba-Ku. Dan untuk hamba-Ku apa yang ia
minta.” Apabila seorang hamba mengucapkan, “Alhamdulillah Rabbil
‘Alamin”, maka Allah berfirman, “Hamba-Ku telah memuji-Ku.” Apabila
hamba-Ku mengucapkan, “Ar-Rahmaan Ar-Rahiim”, maka Allah berfirman,
“Hamba-Ku benar-benar telah menyanjung-Ku.” Apabila hamba tersebut
mengucapkan, “Maaliki yaumiddiin.” Maka Allah berfirman, “Hamba-Ku telah
memuliakan Aku.” Apabila hamba itu mengucapkan, “Iyyaka na’budu wa
iyyaaka nasta’iin.” Maka Allah berfirman, “Yang ini antara Aku dan
hamba-Ku dan untuk hamba-Ku apa yang ia minta.” Jika hamba tersebut
mengucapkan, “Ihdinash shiraatal mustaqiim, shiraatal ladziiina an’amta
‘alaihim ghairil maghduubi ‘alaihim waladh dhaalliin.” Maka Allah
berfirman, “Yang ini antara Aku dan hamba-Ku dan untuk hamba-Ku apa yang
ia minta.”
Shalat benar-benar penting dalam kehidupan seorang muslim. Karena
shalat adalah barometer amalannya yang lain. Bila shalatnya baik tentu
amalannya yang lain pun baik, jika shalatnya buruk pasti buruk pula
amalannya yang lain. Di masa Ahlul Hadits, setiap penuntut ilmu hadits
akan melihat shalat orang yang akan diangkatnya menjadi guru. Apabila
shalatnya baik maka ia akan menimba ilmu darinya, namun jika shalatnya
buruk ia akan ditinggalkan.
Abu Dawud rahimahullahu meriwayatkan sebuah hadits yang dishahihkan
oleh Al-Albani dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya amalan hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari
kiamat nanti adalah shalat. Allah berfirman kepada para malaikat, dan
Allah Maha mengetahui, ‘Lihatlah shalat hamba-Ku, sempurna ataukah
kurang?’ Jika shalatnya sempurna maka akan dicatat dengan sempurna pula,
bila kurang demikian pula akan dicatat kurang. Lalu Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman, ‘Perhatikanlah shalat-shalat sunnah hamba-Ku, jika ia
memiliki amalan shalat sunnah maka jadikanlah penyempurna shalat
wajibnya.’ Kemudian amalan-amalan kalian akan diambil dengan hal
tersebut.”
Demikian juga hadits lain yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarani
rahimahullahu dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ،
فَإِنْ صَلَحَتْ صَلَحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ
سَائِرُ عَمَلِهِ
“Amalan hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat nanti
adalah shalat. Apabila shalatnya baik tentu seluruh amalannya yang lain
pun baik. Tetapi bila shalatnya jelek maka seluruh amalannya pun tentu
jelek.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah 3/343)
Hamba yang gemar kebaikan akan merasa tenang dan damai ketika ia
dalam keadaan shalat, terlebih dalam keadaan sujud karena puncak
kedekatan hamba dengan Rabb-Nya di saat ia sujud. Adapun hamba yang
lalai akan terasa berat untuk menegakkan shalat. Shalat yang ia senangi
adalah shalat yang paling cepat.
Ketika dalam keadaan shalat, ia merasa
sedang berdiri di atas bara api.
Untuk mewujudkan shalat yang khusyu’ harus dilandaskan keikhlasan dan
mutaba’ah, yaitu sesuai dengan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Sehingga tugas setiap muslim adalah mewujudkan janji
setianya untuk menegakkan shalat dengan mempelajari tuntunan shalat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits-hadits yang terkait dengan
pelaksanaan shalat demikian banyaknya. Setiap muslim harusnya disibukkan
dengan bai’at-bai’at yang telah diucapkan di hadapan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukannya disibukkan untuk memikirkan
bai’at-bai’at baru dalam setiap kelompoknya. Waktu kita terlalu sedikit
untuk memaparkan bentuk-bentuk bai’at baru yang tidak dikenal di masa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti bai’at yang ada pada
Ikhwanul Muslimin, Jamaah Jihad, LDII, Hizbut Tahrir, atau kelompok
lainnya.
Menunaikan zakat
Adapun yang dimaksud dengan menunaikan zakat adalah menyerahkan zakat
kepada yang berhak. Zakat adalah amalan yang terkait dengan hak Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan hak sesama manusia. Dikatakan terkait dengan hak
Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena zakat adalah sebuah kewajiban yang
ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk kaum muslimin sekaligus salah
satu dari rukun Islam. Dikatakan terkait dengan hak sesama manusia,
karena zakat disyariatkan untuk membantu sesama di dalam menyelesaikan
kebutuhan-kebutuhannya. Pembahasan zakat secara lengkap telah
disampaikan dalam Asy-Syari’ah Vol. V/No. 54/1430H/2009.
Nush (berniat baik) kepada sesama muslim
An-Nush adalah nama lain untuk nasihat. Yang dimaksud dengan bersikap
nush kepada sesama muslim telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam di dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
riwayat Al-Bukhari-Muslim:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Belumlah sempurna keimanan salah seorang di antara kalian kecuali ia
telah bersikap menginginkan kebaikan untuk saudaranya sebagaimana ia
menginginkan kebaikan itu untuk dirinya sendiri.”
Sehingga setiap muslim berusaha agar saudaranya mendapatkan kebaikan
seperti kebaikan yang ia rasakan, sebagaimana ia berusaha agar
saudaranya terhindar dari keburukan layaknya ketika ia ingin terhindar
dari keburukan tersebut. Ia merasa bahagia dengan kebahagiaan yang
dirasakan saudaranya, serta turut merasakan kesedihan yang dirasakan
oleh saudaranya. Ia bersikap baik kepada saudaranya sebagaimana ia
menuntut saudaranya untuk bersikap baik terhadapnya.
Marilah kita melihat bentuk pengamalan sikap nush kepada sesama
muslim yang ditunjukkan oleh Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu
sebagai perawi hadits. Al-Imam Ath-Thabarani rahimahullahu meriwayatkan
bahwa Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu pernah membeli seekor kuda
senilai 300 dirham. Setelah dicoba, Jarir menemui si penjual dan
mengatakan, “Sebenarnya kudamu lebih mahal dari harga yang engkau
tetapkan. Bagaimana jika aku memberimu 400 dirham?” Si penjual menjawab,
”Itu terserah kamu, wahai Jarir.” Setelah dicoba untuk kedua kalinya,
Jarir menyampaikan kepada si penjual bahwa, ”Kuda itu seharusnya diberi
harga lebih dari 400 dirham. Maukah engkau jika aku memberimu 500
dirham?” Si penjual mengatakan, “Terserah kamu, wahai Jarir.” Kejadian
ini terulang kembali hingga akhirnya Jarir memberikan 800 dirham kepada
si penjual. Ketika ditanyakan kepada Jarir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhu tentang hal ini beliau menjawab, “Aku telah mengucapkan bai’at
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersikap nush
kepada sesama muslim.”
Nush (berniat baik) kepada pemerintah
Terkait dengan keadaan kaum muslimin di akhir zaman ini, kiranya
penting sekali untuk ditekankan perihal menyampaikan nasihat kepada
pemerintah. Karena memberikan nasihat tidaklah sama caranya antara satu
dengan yang lain. Menyampaikan nasihat kepada orangtua tentu berbeda
dengan kepada tetangga. Sebagaimana berbeda pula antara memberikan
nasihat kepada pemerintah dengan kepada masyarakat biasa. Kepada
pemerintah hendaknya nasihat disampaikan dengan penuh kasih sayang dan
kelembutan. Secara diam-diam dan rahasia, bukan dengan mengumbar aib dan
kekurangan mereka di hadapan khalayak umum. Apalagi disebarkan melalui
media massa.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan cara
menyampaikan nasihat kepada pemerintah di dalam hadits ‘Iyadh bin Ghunm
radhiyallahu ‘anhu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً
وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُوا بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ
وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang ingin menyampaikan nasihat kepada penguasa
janganlah menyampaikannya dengan terang-terangan. Hendaknya ia memegang
tangan penguasa, jika penguasa mau menerima nasihat maka itulah yang
diinginkan namun bila penguasa menolak maka ia telah menjalankan
kewajibannya.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, dan yang lain. Hadits ini
dishahihkan Al-Albani dalam Zhilal Al-Jannah hal. 507)
Dengan demikian, Islam tidak membenarkan aksi-aksi unjuk rasa dan
demonstrasi untuk menentang kebijakan pemerintah, menyampaikan kritikan
atau “aspirasi” rakyat kepada pemerintah. Cara-cara yang demikian
termasuk tipu daya setan yang hanya akan memperburuk keadaan. Lihatlah
contoh yang ditunjukkan oleh para sahabat di dalam atsar Usamah bin Zaid
radhiyallahu ‘anhuma, ketika ada seseorang yang menyampaikan kepada
beliau, ”Mengapa anda tidak menemui Utsman untuk memberikan nasihat?”
Maka Usamah menjawab, ”Apakah kalian menginginkan agar aku memberitahu
kalian jika aku telah memberikan nasihat kepada Utsman? Demi Allah, aku
telah berbicara dengan Utsman. Hanya aku dan dia saja.” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim)
Al-Imam Ahmad rahimahullahu menyebutkan atsar dari Sa’id bin Jahman,
beliau berkata: Aku pernah menemui Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu
‘anhu (sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang telah buta.
Setelah aku mengucapkan salam beliau bertanya, “Siapakah dirimu?” Aku
menjawab, “Namaku Sa’id bin Jahman.” Lalu aku menceritakan tentang
kezaliman dan kelaliman penguasa pada masa itu. Maka tanganku dipegang
erat oleh Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu sambil mengatakan,
”Celaka engkau wahai Ibnu Jahman. Jika memang penguasa mau mendengarkan
ucapanmu, maka datangilah rumahnya dan sampaikan kepadanya apa yang
engkau ketahui. Jika ia menerima apa yang engkau sampaikan maka itulah
yang diharapkan. Namun jika ia menolak, maka belum tentu engkau lebih
mengetahui daripada penguasa.”
Al-Imam Ibnu An-Nahas rahimahullahu berkata, ”Berbicara dengan
penguasa dengan cara diam-diam lebih dipilih daripada berbicara di
hadapan khalayak umum. Bahkan semestinya ia berusaha untuk berbicara
dengan penguasa secara rahasia dan menyampaikan nasihat dengan cara
tersembunyi, sehingga tidak ada pihak ketiga yang mengetahuinya.”
(Tanbihul Ghafilin hal. 64)
Maka seharusnya setiap muslim mengingat kembali janji-janji setia
yang telah diucapkan melalui lisan para sahabat. Seharusnya setiap
muslim menyibukkan diri untuk melaksanakan bai’at-bai’at yang telah
diteguhkan oleh para sahabat. Bukannya mencari bentuk-bentuk bai’at baru
yang ada pada kelompok dan firqahnya. Apakah kita tidak merasa cukup
dengan bai’at-bai’at para sahabat?
Al-Ajurri rahimahullahu berkata, ”Tidak pantas seseorang dikatakan
memiliki sikap nush bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya, para
pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin secara umum, melainkan ia harus
memulai dengan dirinya terlebih dahulu. Bersungguh-sungguh di dalam
menuntut ilmu dan fiqih agar ia mengetahui kewajiban-kewajiban yang
dibebankan atasnya. Agar ia mengerti juga akan permusuhan setan kepada
dirinya sehingga ia dapat berusaha untuk menghindar. Agar ia mengerti
keburukan-keburukan yang diinginkan oleh jiwanya sehingga ia dapat
mengusirnya dengan ilmu.” (Basha’ir Dzawit Tamyiz 5/67)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Janji Seorang Muslim
cari istri ke 2 herliyanto s.e
info herliyanto s.e
kesehatan herliyanto s.e
Tweet This
Bookmark this on Delicious
---------------------------------
---------------------------------
Diposting oleh
Herliyanto S.E